SELAYANG PANDANG: SEJARAH GEREJA
KATOLIK DI KEUSKUPAN MANADO
- 1. Melalui
dinamika dan tahapan-tahapan perkembangan sejak abad 16, akhirnya misi
katolik di Sulawesi Utara menghasilkan buah-buah indah bagi Gereja dengan
terbentuknya Keuskupan Manado. Bagaimana misi katolik bertumbuh dan
berkembang di Sulawesi Utara hingga terbentuknya Keuskupan Manado?
- Misi
katolik bertumbuh dan berkembang di Sulawesi Utara hingga terbentuknya
Keuskupan Manado terjadi dalam 3 tahap periode:
- Periode
Pertama: Masuknya para misionaris dan usaha misi awal (1563-1677).
Mulainya usaha misi di Sulawesi Utara dimulai pada tahun
1563. Pada masa ini bentuk pemerintahan di Sulut masih berupa kerajaan-kerajaan
dan kesultanan. Suatu daerah dipimpin oleh seorang raja atau sultan.
Misionaris pertama yang menginjakkan kaki di tanah Sulut
adalah Pater Diogo de Magelhaes. Hal ini terjadi karena Sultan Hairun, Sultan
Ternate, mengirimkan anaknya, Baab-Ullah untuk pergi ke Sulut dengan maksud
untuk memaksa penduduk-penduduk di situ untuk memeluk agama Islam. Hal inilah
yang membuat Portugis turun tangan menggagalkan rencana tersebut. Mereka
mengirim dua buah kapal ke Sulawesi bersama dengan seorang misionaris, Pater
Diogo de Magelhaes.
Di sana Pater Magelhaes berhasil membaptis banyak penduduk
dan bahkan raja mereka. Raja dan penduduk antusias meminta diri untuk dibaptis.
Tetapi Pater Magelhaes tidak menyetujui permintaan tersebut dengan alasan
misionaris yang tidak mencukupi. Dengan demikian ia hanya membaptis raja dan
orang-orang penting lainnya.
Setelah Pater Magelhaes, mulai muncul misionaris-misionaris
lainnya, yang dengan penuh antusias membaptis dan mengajarkan ajaran Kristus
kepada rakyat di Sulawesi Utara. Mereka antara lain, Pater Mascarenhas SJ,
Pater Roger Koenraads, Pater Francesco de Groce, Pater Antonio Pereira, dan
masih banyak lagi misionaris yang datang untuk menjalankan karya misi mereka di
negeri nyiur melambai ini. Dalam menjalankan tugas pelayanan ini banyak sekali
tantangan. Misalnya, ada kepercayaan-kepercayaan kafir (alifuru) dan
kerajaan-kerajaan Islam yang menentang dan berusaha mengusir
misionaris-misionaris tersebut.
Pada tahun 1666, usaha misi di Sulawesi Utara terhenti
karena pada saat itu Belanda membangun benteng Amsterdam di Manado. Pada tahun
1672, Belanda menguasai penuh Sulawesi Utara dan mengusir Portugis dan Spanyol,
yang sebelumnya menguasai Indonesia.
- Periode
Kedua : Perkembangan Misi Gereja sejak 1853-1919
Misi di Sulawesi Utara sempat terhenti selama beberapa
tahun, karena disebabkan oleh adanya kependudukan Belanda. Bangsa Belanda
datang ke Indonesia dengan diboncengi oleh VOC. Belanda merupakan negara yang
menganut agama Protestan. Oleh karena itu, misi di Sulawesi Utara berhenti.
Mereka berusaha membuat Indonesia menganut kepercayaannya, yaitu Protestan.
Misi di Sulawesi Utara mulai bangkit kembali pada tahun 1853
yang dilatarbelakangi oleh Revolusi Perancis. Berkat Revolusi Perancis inilah
karya misioner Gereja mulai menyebar di seluruh dunia. Di Belanda, berkat
politik yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, misionaris-misionaris Belanda
mulai mendapat keleluasaan dalam memeluk agama. Dengan demikian hal ini juga
berpengaruh di Indonesia, yang yang dikuasai oleh Belanda. Daendels, yang
menjadi Gubernur Belanda di Indonesia, menetapkan dekrit kebebasan beragama di
Indonesia pada tahun 1858. Sejak saat itu misionaris-misionaris mulai
menjalankan misi pelanyanannya.
Jawa menjadi daerah pertama di Indonesia yang dikunjungi
oleh misionaris-misionaris. Sehingga orang-orang Sulut yang melakukan dinas
militer di Jawa, mulai mengenal kembali agama katolik. Di antara mereka ada
yang menjadi katekis, pewarta dan misionaris Gereja.
Orang yang menjadi perintis dalam karya misi di Sulut adalah
Daniel Mandagi. Atas usahanya maka di Sulut mulai dibuka kembali karya misi.
Banyak misionaris mulai menginjakkan kaki ke negri nyiur melambai ini lagi.
Mereka adalah Pater Vries SJ, Pater Georgus Metz, Pater van Meurs SJ. Selain
misionaris-misionaris tersebut dibentuk juga katekis-katekis awam untuk
memberikan pelajaran agama kepada orang-orang katolik maupun calon katolik.
Dengan mulai dibuka kembali misi di Sulut, maka secara
perlahan-lahan mulai muncul stasi-stasi, khususnya di Minahasa, seperti di
Kakaskasen, Sarongsong, Tara-tara, Woloan dan daerah lainnya.
- Periode
ketiga : Peralihan dari SJ kepada MSC
Pada tahun 1917, misionaris MSC datang ke Manado. Sejak saat
itu diadakan pengalihan wilayah dari misionaris SJ kepada misionaris MSC.
Kemudian pada tahun 1919 muncul dekrit dari Roma di mana Sulut dijadikan
Prefektur Apostolik yang dipercayakan kepada konggregasi MSC. Konggregasi MSC
ini meneruskan karya misi yang selama bertahun-tahun telah dibentuk oleh para
misionaris SJ.
Dalam menjalankan karya misi ini, banyak sekali buah-buah
yang dapat kita rasakan sampai sekarang berkat usaha dan kerja keras dari para
misionaris MSC. Misalnya, dalam bidang pendidikan sangat ditekankan. Banyak
gedung-gedung sekolah dibangun. Di bidang kesehatan ; dibangunlah
rumah-rumah sakit. Stasi-stasi mulai diperbanyak sehingga banyak misionaris
yang datang, dan banyak imam mulai ditempatkan pada pos-posnya. Selain itu pula
di kalangan umat mulai digalakkan macam-macam kegiatan seperti
kumpulan-kumpulan, pertemuan-pertemuan wilayah, dll.
Dengan masuknya tenaga-tenaga dari konggregasi MSC,
pelayanan umat lebih intensif dengan medirikan stasi-stasi baru, seperti
Manado, Tomohon, dan Woloan, kemudian menyusul yang lainnya seperti Kembes,
Lembean, Langoan, dll.
Dalam membangun semuanya itu, pasti tidaklah lepas dari
pengaruh-pengaruh pada zaman itu yang menjadi hambatan. Perang Dunia II
memiliki dampak yang besar bagi misi di Indonesia, yang sedang dijajah oleh
Belanda. Hubungan para misionaris dengan pusatnya di Belanda terputus.
Bantuan-bantuan baik tenaga maupun material lain terhenti. Meskipun demikian
umat di Manado sudah mulai dapat berdiri sendiri dan selalu mau bekerja sama
serta membantu pastornya.
Sesudah kependudukan Belanda, Indonesia kembali diduduki
oleh Jepang. Pada zaman Jepang, misi di Indonesia mengalami hambatan yang
berat. Banyak imam ditawan, sehingga kegiatan melayani umat terhambat. Namun
demikian, karya misi Manado pantas diancungi jempol. Dalam menjalankan misi,
yang berperan aktif bukanlah para imam, melainkan para awam. Kaum awam sangat
berapi-api dalam mewartakan injil dan membela imannya.
Setelah masa kependudukan Jepang berakhir, Mgr. W. Pannis,
selaku Prefektur Apostolik pada masa itu di Manado, membangun kembali Seminari,
yang hancur pada saat perang. Seminari dibangun di Woloan dan dinamakan
“Tarsisius”. Pada tanggal 14 September 1953 mulai diadakan pembangunan untuk
Seminari Tinggi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Seminari Tinggi mulai berjalan.
Pada tanggal 15 Maret 1961, dua imam pertama yang dididik di
seminari telah ditahbiskan. Tanggal 2 Februari 1961 Mgr. Verhoeven, Prefek
Apostolik pengganti Mgr. Pannis, dianggkat menjadi Uskup Manado. Pada saat
itulah Manado yang semula hanya merupakan Vikariat Apostolik berdiri menjadi
Keuskupan sendiri, yaitu Keuskupan Manado. Pst. Th. Moors diangkat oleh Uskup
Manado menjadi Vikaris Jendral.
- 2. Proses
integrasi iman katolik dengan kebudayaan suku-suku (inkulturasi iman) yang
ada di jazirah Utara pulau Sulawesi ini (Sulteng hingga kepulauan Talaud)
memerlukan waktu yang cukup panjang. Lukiskanlah bagaimana proses itu
berlangsung dan mentalitas kehidupan gerejani apakah yang dihasilkan dari
proses itu yang mempengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan cara
bertindak dari umat katolik (awam dan hierarki) di Keuskupan Manado?
- Dilihat
dari sejarahnya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Gereja Katolik masuk ke
wilayah Indonesia, khususnya di daerah Nyiur Melambai ini, dengan cara
menumpang di kapal kolonialis. Awal mula Gereja masuk ke Indonesia dengan
diboncengi oleh bangsa Spanyol dan Portugis, yang semata-mata datang untuk
mencari keuntungan.
Ketertinggalan penduduk Minahasa dalam bidang pendidikan,
teknologi, dan kebudayaan telah membuat mereka terjajah. Maka keberpihakan
Gereja dalam mengatasi ketertinggalan inilah menjadi pilihan tepat. Gereja
melalui karya-karya kerasulan berusaha mengejar ketertinggalan tersebut.
Upaya untuk menginkulturasikan iman Kristiani di kalangan
masyarakat tidaklah mudah, akan tetapi sebagai suatu misi maka tetap
dilaksanakan. Misalnya, sudah menjadi tugas dari para misioner untuk mewartakan
Kabar Baik di kalangan masyarakat dengan menggunakan bahasa setempat. Untuk
itu, para misionaris yang datang ke tempat-tempat di daerah pesisir nyiur
melambai ini berusaha untuk menggunakan bahasa-bahasa setempat, seperti bahasa
Melayu, Tombulu, Tonsea, dan bahasa-bahasa sub-etnis lainnya. Pastor van Velsen
berusaha menerjemahkan katekismus, doa-doa, dan juga lagu-lagu Katolik ke dalam
bahasa Tombulu, agar umat setempat mudah untuk mengertik.
Tantangan lainnya, selain bahasa setempat, yang dihadapi
oleh para misionaris, dalam mewartakan Kabar Baik di kalangan masyarakat
Sulawesi Utara adalah adanya kepercayaa alifuru yang sejak semula telah dianut
dan dipercayai oleh masyarakat setempat. Sejak masuknya Gereja Katolik dan
dengan adanya pengaruh dengan dunia luar sejak abad ke-19, mulai menggeser
kebudayaan alifuru ini. Melalui karya-karya karitatif, Gereja menghantar
kebiasaan-kebiasaan alifuru tersebut ke arah marginalisasi. Gereja dengan
begitu giat mengusahakan agar pemeluknya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
alifuru tersebut.
Akan tetapi kepercayaan alifuru tersebut tidak sepenuhnya
dihilangkan oleh Gereja. Gereja memanfaatkan kebudayaan-kebudayaan, yang oleh
Gereja dianggap baik, sebagai sarana untuk lebih memperdalam iman umat
setempat. Dapat dikatakan bahwa Gereja tidak terlalu banyak membawa visi dasar
tentang Yang Ilahi kepada orang Minahasa. Gereja, di satu sisi, mengukuhkan
upacara-upacara tradisional sebagai pengungkapan terhadap realitas Ilahi
tersebut, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan kata lain, Gereja
dalam memperkenalkan Sang Ilahi kepada orang-orang yang ada di jazirah utara
pulau Sulawesi hanya mengadopsi ritus-ritus animisme, yang semula dipercaya
oleh masyarakat setempat dan mengangkatnya menjadi ungkapan iman kristiani yang
benar. Hal inilah yang mempermudah Gereja dalam menjalankan misinya. Untuk
itulah rakyat dengan mudah menerima Gereja dalam kehidupan mereka sehari-hari.
- Dalam
menjalankan misinya, terdapat banyak kendala internal dalam diri Gereja di
Indonesia. Hal tersebut antara lain mentalitas Ekskluvisme. Mentalitas ini
muncul dari kaum minoritas dalam suatu masyarakat. Mentalitas inilah yang
muncul dalam diri Gereja Katolik di Indonesia. Di Indonesia Gereja Katolik
merupakan kaum minoritas dari berbagai agama, yang ada di Nusantara.
Mentalitas ini menyebabkan munculnya sikap ketertutupan
dalam diri umat terhadap hal-hal yang ada di luar Gereja, khususnya yang
menyangkut keagamaan. Umat katolik di Indonesia merupakan umat yang mandiri,
tekun mengusahakan perkembangan dan penghayatan iman mereka sendiri, erat dalam
kesatuan dan kebersamaan, akan tetapi cenderung tertutup bagi agama-agama lain.
Dengan mentalitas eklusivisme tersebut, umat seringkali
mengambil sikap dualistis. Mereka memisahkan antara kehidupan menggereja dan
bermasyarakat. Mentalitas ini juga sering menimbulkan semangat ultramontanisme
yang berlebihan. Gereja Katolik meruakan gereja yang universal dan unitas. Oleh
karena itu, umat akan lebih menghormati pendapat dari Bapa Suci atau
petinggi-petinggi Gereja lainnya, selaku pemimpin Gereja, dari pada
aturan-aturan dari pemerintah.
Konsekuensi lainnya dari mentalitas eklusivisme ini adalah
sikap yang terlalu menekankan institusi. Seperti halnya dalam suatu institusi
atau organisasi memiliki aturan-aturan dan hukum-hukum yang mengatur, begitu
juga halnya dengan Gereja. Untuk itu, jangan heran kalau di dalam diri Gereja
muncul mentalitas iuridis yang sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan uamt
katolik.
Mentalitas iuridis ini, para pastor bertindak sebagai
inisiator pelbagai kebijakan dan umatlah yang menjadi pelaksana yang baik. Umat
memandang bahwa pastor itu tahu segalanya, sehingga semua hal yang menyangkut
perkembangan suatu paroki diserahi kepada pastor tersebut. Umat harus
menjalankan apa yang pastor katakan dan putuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar